ADA suatu mitos yang sangat populer di
tengah masyarakat Sumatera Selatan, yaitu cerita mengenai Antu Banyu.
Cerita Antu Banyu ini begitu terkenal di tengah masyarakat
pendukungnya karena cerita ini begitu melekat sejak lama dan diwarisi oleh
pewaris aktifnya secara turun-temurun intergenerasi bahkan antargenerasi.
Jika
ada seorang anak kecil sering atau suka bermain di sungai dalam jangka waktu
yang lama, biasanya akan ditegur oleh orang tua, kerabat, dan sebagainya dengan
mengatakan “Jangan galak main di sungi Musi (nama sungai di
Sumatera Selatan), gek ado antu banyu!” (bahasa Melayu Palembangdan
Musi), Dang galak mido di way Selabung (nama sungai di Muara
Dua) tulik dikanik hantu lawok!” (bahasa Daya) atau“Jangan
galak mandi di ayik Lintang (nama sungai di daerah Empat Lawang), kelo
dipaju antu ayik!“ (bahasa Lintang)
Nama
hantu yang biasa hidup di air ini, di Sumatera Selatan dikenal dengan nama yang
bermacam-macam. Masyarakat Komering mengenalnya dengan nama Antu Anyar,
masyarakat Lintang mengenalnya dengan nama Antu Ayek atau
dengan nama lain Selingkup, dan masyarakat Muara Dua mengenal jenis
hantu ini dengan sebutan Hantu Lawok, dan masyarakat Melayu
Palembang atau Musi mengenalnya dengan nama Antu Banyu. Apa pun
namanya, jenis hantu ini habitat hidupnya di air dengan karakter tersendiri di
tengah masyarakat pendukungnya.
Tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa hantu jenis ini memiliki versi dan varian.
Masyarakat Sumatera Selatan secara geografis memiliki banyak sungai
memungkinkan cerita ini berkembang dengan pesat melampaui batas ruang dan
waktu. Wajar saja, seolah-olah di tengah masyarakat Sumatera Selatan kemasyuran
hantu yang hidup di air ini begitu melekat dan “membumi”. Kehadiran cerita Antu
Banyuini menimbulkan nuansa tersendiri bagi masyarakat, terutama masyarakat
yang hidupnya di sungai-sungai atau di daerah laut yang ada di Sumatera
Selatan. Percaya atau tidak, hampir semua daerah di Sumatera Selatan mengenal
mitos mengenai hantu yang hidupnya di air ini.
Menurut
Bascom dalam Danandjaja (2002:50) mitos atau mite merupakan cerita rakyat
dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Biasanya
mitos ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa solah-olah
terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal
sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Folk atau kolektif
masyarakat menentukan bahwa cerita hantu yang hidup di air ini termasuk dalam
kategori mitos sebab folk pemilik atau pendukung cerita ini
begitu melekat dan “membumi” di tengah masyarakat yang “hidupnya” dilingkupi
sungai atau laut. Selain itu, menurut Bascom bahwa karakteristik mite atau
mitos dapat diketahui dari bentuk topografi, bentuk khas, berikut
petualangannya.
Antu
Banyu memiliki
karakteristik berambut panjang dan keras, rambutnya seperti satang (buluh
yang panjang) karena itu apabila rambut ini sudah berada diatas kapal, perahu,
sampan atau ketek biasanya perahu atau kapal atauketek
tersebut akan karam. Selain rambut tersebut berat juga tajam karena
itu kalau antu banyu telah meletakkan rambutnya yang panjang
tersebut ke atas kapal atau sampan maupun ketek biasanya
penghuninya akan menjadi “santapannya”. Kemudian mangsanya akan ditemukan oleh
penduduk setempat dalam keadaan terapung dengan ubun-ubuh atau punggung sum-sum
tulang belakang dalam keadaan bolong. Konon, antu banyu sangat
menggemari wilayah ubun-ubun kepala dan bagian sum-sum tulang belakang manusia.
Hantu
banyu yang memiliki habitat hidup di air biasanya menghuni gua-gua yang ada di
sepanjang sungai dan lorong-lorong atau pusaran yang ada di dalam sungai dan di
waktu-waktu tertentu akan memangsa korbannya. Caranya memangsa korban pun
dengan cara menaikkan rambutnya ke perahu atau ketek, saat penghuni ketekkewalahan
perahu atau keteknya akan karam, saat itu juga sang antu
banyu akan memangsa korbannya. Karena berambut panjang, disinyalir
hantu banyu ini berjenis kelamin laki-laki(?). Biasanya antu banyu sangat
selektif memangsa korbanya, antara lain pendatang baru di daerah tersebut,
anak-anak, atau juga remaja berusia akil baliq.
Mitos
mengenai antu banyu ini berdasarkan tempat asalnya (hidup di
air atau sungai Sumatera Selatan), sepertinya merupakan mitos asli Sumatera
Selatan (Indonesia) bukan berasal dari luar negeri, terutama dariIndia, Arab,
dan sekitar Laut Tengah yang umumnya telah mengalami pengolahan lebih lanjut.
Hal ini disebabkan mereka telah mengalami yang oleh Robert Redfí et. Al.
disebut sebagai proses adaptasi (adaptation). Walaupun tidak dipungkiri
bahwa di negara lain juga punya kepercayaan atau mitos mengenai hantu yang
hidup di air ini, seperti Inggris,Jepang, Thailand, dan Cina. Namun,
cerita antu banyu yang hidup di Sumatera Selatan (Indonesia)
punya versi dan karakteristik yang berbeda. Cerita antu banyu yang
terkenal di Sumatera Selatan tidak terlepas dari struktur dan historis Sumatera
Selatan yang memiliki banyak wilayah perairan. Tidak berlebihan jika dikenal
dengan sebutan “Negeri Batanghari Sembilan” (Negeri sembilan Sungai, yaitu Sungai
Komering, Rawas, Batanghari, Leko, Lakitan, Kelingi, Lematang, Semangus, dan
Ogan. Untuk mengetahui keterkaitan suatu mitos dari satu negara perlu
melakukan studi komparatif dengan cara membandingkan versi atau varian cerita
tersebut. Namun, sangatlah sulit karena memakan waktu yang tidak singkat.
Menurut Danandjaja, pada dasarnya jika ada kesamaan antara cerita dengan cerita
yang lain biasanya ada dua kemungkinan yang melatarbelakanginya, yaitu (1)
monogenesis: suatu penemuan yang diikuti proses difusi (diffusion) atau
penyebaran, (2) sebagai akibat poligenesis, yang disebabkan oleh
penemuan-penemuan yang sendiri (independent invention) atau sejajar (parallel
invention) dari motif-motif cerita yang sama, di tempat-tempat yang
berlainan serta dalam masa yang berlainan atau bersamaan.
Teori-teori
yang tergolong monogenesis, antara lain teori Grimm bersaudara, teori mitologi
matahari Max Muller, dan teori Indianist Theodore Benfley. Ahli-ahli dongeng
Jerman, seperti Yacob dan Wilhelm Grimm yang hidup dalam abab ke-19 M, walaupun
mengakui adanya kemungkinan itu, namun lebih menekankan pada difusi
(monogenesis) sebagai penyebab adanya kesejajaran itu. Pendapat kedua bersaudara
itu dianut kebanyakan ahli foklor di dunia.
Cerita
mengenai antu banyu ini demikian menarik untuk dibahas maupun
diperbincangkan. Cerita mengenai hantu yang hidupnya di air ini bukan hanya
dianggap sekedar meneguhkan kebenaran tahayul atau kepercayaan masyarakat
kolektifnya. Niscaya, cerita mengenai hantu ini berguna bagi kolektifnya,
setidak-tidaknya dapat mengajarkan kepada kita agar disiplin dalam menggunakan
waktu dan mengharmoniskan kita dalam mengasihi anak-anak. Bagaimana bisa? Orang
yang berlama-lama di air tanpa ada pekerjaan biasanya tidak efisien dalam
menggunakan waktu dan orang tua harus memperhatikan anak-anaknya agar tidak
lama berada di sungai. Jika tidak, hantu yang kerap kali berada di air ini
siap memangsa.
daftar pustaka
daftar pustaka